Jumat, 01 September 2023

Jendral soedirman

 JENDRAL SOEDIRMAN 

Sejarah Jenderal Sudirman akan mebahas profil salah satu pahlawan nasional di bidang Militer. Dia pernah mengemban amanah sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kini berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sudirman merupakan salah satu dari tiga nama tokoh nasional militer dengan gelar jenderal besar bintang lima di Indonesia, bersanding dengan Jenderal A.H Nasution dan Jenderal Soeharto. Sudirman terkenal dengan kiprah cemerlang kepemimpinan militernya di zaman kependudukan Jepang dan perjuangan pergerakan kemerdekaan. Dalam menggempur penjajah, Sudirman bersama pasukannya melancarkan taktik gerilya.


Kehidupan Awal Jenderal Sudirman

 Jenderal kelahiran Purbalingga 24 Januari 1916 itu merupakan anak dari pasangan Karsid Kartawiuraji dan Siyem. Karsid Kartowirodji, ayah Sudirman adalah seorang pekerja pabrik gula di Kalibagor, Banyumas. Sementara ibunya bernama Siyem adalah keturunan Wedana Rembang. Namun, sejak kecil Sudirman dirawat oleh Pamannya bernama Raden Cokrosunaryo yang saat itu menjabat sebagai camat Rembang. Oleh karena Pamannya yang tidak kunjung memiliki anak, Sudirman kemudian diangkat Pamannya sebagai anak. Tika Hatikah dalam Keteladanan Sang Tokoh menyatakan, pendidikan Jenderal Sudirman dimulai di Hollandsch Inlandche School. Namun, saat tahun kelima, ia berhenti dari sekolah itu dan melanjutkan di sekolah Taman Siswa Yogyakarta. Ia pintar dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan memperdalam ilmu agama. Ia didik dengan baik oleh gurunya Suwarjo Tirtosupono dan Raden Muhammad Kholil. Pada masa sekolah, Sudirman aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Pada awalnya Sudirman bukanlah berasal dari kemiliteran, dia tercatat pernah berprofesi sebagai guru. Sudirman sempat mengajar di sekolah Wirotomo, ia juga aktif di organisasi kepemudaan Muhammadiyah.


Karier Militer Jenderal Sudirman
 Sudirman berkenalan dengan dunia kemiliteran diawali dengan menjadi semacam hansip yang mengantisipasi serangan udara di zaman kolonial. Namun, sosoknya yang giat dan pandai berorganisasi membuat karier militernya tidak lantas berhenti di sana. Sebelum kedatangan tentara Jepang, ia pernah diminta pemerintah Belanda untuk memberikan pelatihan kemiliteran kepada tentara pribumi. Ia juga pernah memimpin organisasi bentukan Jepang, Syu Sangikai yang bertujuan untuk menjaga keamanan Indonesia dari sekutu. Organisasi itu bergabung dengan dengan Pembela Tanah Air (PETA). Kemudian dia mendapatkan materi kemiliteran melalui latihan menjadi calon komandan battalion Bogor pada zaman Jepang selama tiga bulan. Setelah itu, dia diangkat menjadi komandan dan ditugaskan di Batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah. Di sana Sudirman diberikan akses persenjataan lengkap. Sudirman dikenal dan makin dipercaya berkat Palagan Ambarawa pada akhir 1945. Meski korban di pihak Indonesia jauh lebih besar dibanding pasukan Inggris yang menang Perang Dunia II, pertempuran itu dianggap sebagai kemenangan gemilang. “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa pengunduran terpaksa dari pihak Sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer,” tulis Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988: 174). Kiprah Sudirman di Ambarawa itu kelak dikenang sebagai Hari Infanteri. Pertempuran ini membuat Presiden Sukarno mempercayakan kepemimpinan tentara di tangan Sudirman. Saat itu, Sudirman sudah terpilih sebagai panglima lewat voting pada 12 November 1945. Satu bulan setelah diangkat menjadi pimpinan militer Indonesia, Sudirman yang saat itu sedang menderita sakit TBC harus menghadapi Agresi Militer II Belanda. Dengan kondisi fisik yang sebenarnya tidak memungkinkan untuk memimpin perang gerilya, Sudirman tetap bersikeras melanjutkan perjuangan bersama pasukannya di dalam tandu darurat. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mencatat bahwa Sudirman melakukan pergerakan dengan keadaan sakit dan lemah itu hampir selama tujuh bulan. Hingga pada akhirnya karena kondisi yang kian memburuk, Sudirman harus pulang dari medan perang agar mendapatkan perawatan. Kondisi kesehatannya inilah yang kemudian menjadi penyebab wafatnya Sudirman pada 29 Januari 1950. Dia berpulang pada usia yang masih cukup muda yaitu 34 tahun. Sang Jenderal Besar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

misteri kota saranjana

kota saranjana Kota Saranjana di Kalimantan Selatan menjadi misterius karena keberadaannya tidak tercatat dalam peta Indonesia. Namun, nama ...